Bismillahir-Rahmanir-Rahim
.. Malam telah memeluk hari. Tapi aku tak jua beranjak dari tempat nongkrongku
bersama teman-teman di trotoar jalan kota. Menenteng gitar, bernyanyi meski
suara fals, menghibur sesama teman nongkrong.
Tak
peduli tatapan lalu lalang orang yang merasa terganggu atau tak nyaman dengan
tingkah kami. Meski tak jarang pula, or ang tersenyum dengan ulah kami.
Adzan
yang terdengar dari atap-atap masjid seperti angina lalu bagiku dan
teman-teman. Terkadang rasa takut mati dan bayang-bayang neraka melintas di
benakku. Tapi ketakutan itu hanya sesaat, berlalu bersama kesenangan dan tawa
bersama teman-teman. Bersama mereka, aku tak pernah takut atau berpikir tentang
mati.
Bukannya
aku tak pernah shalat. Aku selalu rajin melakukannya di depan orang tuaku. Di
rumah, kedua orang tuaku sangat keras menerapkan agama. Mereka sangat ‘rewel’
bila anak-anak malas untuk segera berwudlu bila adzan tiba. Tiba saat kost
begini, mana ada yang memarahiku. Awalnya memang berat dan sayang meninggalkan
sholat.
Tapi
begitulah, teman gaulku di kampus bukan orang yang peduli pada agama. Hingga
jadilah aku kian jauh dari agama. Tadarus tak pernah bahkan hafalan Al-Quranku
yang tak seberapa ikut melayang. Meski kuingat, bila aku sholat, teman-teman
akan meledekku, “Sejak kapan kamu insyaf?” atau sindiran-sindiran senada
lainnya.
Selain
nongkrong, hari-hariku penuh musik. Dimana aku berada tak pernah lepas dari
musik, musik, musik, dan musik. Ada konser artis terkenal, jangan harap aku
lewatkan.
Yang tiket aku peroleh dari pinjaman, dibayarkan teman yang mau berbaik hati atau menjual barang-barangku pada sesama teman. Atau aku manfaatkan pacarku yang tak cuma satu, dengan alasan ini itu, hingga mereka rela merogoh kocek untukku.
Yang tiket aku peroleh dari pinjaman, dibayarkan teman yang mau berbaik hati atau menjual barang-barangku pada sesama teman. Atau aku manfaatkan pacarku yang tak cuma satu, dengan alasan ini itu, hingga mereka rela merogoh kocek untukku.
Soal
tampang dan fisik, jangan tanya dech, artis Dude Herlino, Anjasmara, atau Rafi
Ahmad semua lewat. Otakku pun terbilang encer. Terbukti IP-ku bagus, prestasiku
di kampus lumayan, aku pun jadi ketua klub bahasa Inggris di kampus. Soal
cewek, aku tak perlu mencari, sebab mereka yang mencariku…
Sebagai
anak band, lengkap sudah kelebihanku. Sering manggung dan menjadi terkenal
makin membuatku lupa diri. Di tengah lupa diriku, diantara teman-teman
nongkrong hanya aku satu-satunya yang tak merokok atau menyentuh minuman keras.
Tapi itu bukan berarti aku bersih dari dua barang itu.
Aku
pernah “berlatih” menjadi penikmatnya. Tapi tak pernah berhasil. Baru menghisap
sekali sudah batuk-batuk, dadaku sesak dan kepala serasa berputar. Padahal itu
baru sekali isapan, belum habis sebatang. Pun saat “latihan” minum, baru
mencicip sedikit sudah terasa pahit dan panas di mulut. Aku terpaksa
berkali-kali menyemburkannya keluar. Meludah tak henti-henti. Sebab itu teman-teman
menjulukiku, banci.
Begitulah,
selama hampir tujuh semester, hidupku di rantau begitu glamor dan merdeka.
Uang, aku bisa mencari sendiri dari panggung ke panggung. Atau sesekali aku
menemani “penggemarku” jalan-jalan.
Hanya
jalan-jalan, tapi uang yang kudapat sungguh luar biasa. Sekali jalan, paling
sedikit aku dapat tips atau uang terima kasih dari wanita-wanita penggemarku
antara 1-5 juta. Pernah aku diberi 10 juta tunai !!
Night
Club dan hotel menjadi langganan manggung band-ku. Dan itu kian membuat aku dan
teman-teman lain makin masuk ke lubang hitam. Rawan iming-iming pesona dunia,
materi juga wanita. Kadang batin terdalamku berontak, ingin beranjak, tapi sekali
lagi dunia melenakanku.
Seperti
malam ini, kami baru saja lepas manggung pukul satu dini hari. Minuman keras
tercium dari mulut beberapa teman. Entahlah tiba-tiba aku begitu benci melihat
mereka, sikap dan perbuatan mereka. Tiba-tiba aku merasa malu, berada diantara
tukang mabuk yang begitu dipuja. Apa lebihnya? Hatiku benar-benar gelisah
sepanjang perjalanan pulang.
“Brakk!!!”
benturan keras diiringi derit rem yang diinjak keras dan gesekan benda-benda
berat memekakkan telinga. Tahu-tahu aku telah berdiri di luar mobil. Limbung,
bingung dan gemetar. Rupanya aku terpental ke luar dari mobil dengan tubuh
penuh darah. Dalam kondisi bingung kudekati mobil rombongan band-ku yang
terbalik.
“Innalillahi
wa inna illaihi raji’uun“… aku teringat Allah. Kusebut asma Allah berkali-kali,
diantara teriakan panikku memanggil teman-teman yang sekarat. Beberapa menyahut
pelan. Tapi tidak dengan Bay… Kulihat sekujur tubuhnya berlumur darah, dan ia
benar-benar sekarat.
Tapi
yang keluar dari mulutnya sungguh mengerikan. Mulutnya tak menyebut asma Allah,
tapi justru ia menyanyikan lagu dari sebuah lagu band ternama. Ia juga
berteriak “Ambilkan gitar, ambilkan gitar” sampai nyawa lepas dari tubuhnya.
Aku
begidik dan gemetar dengan hebatnya. Usahaku menuntunnya tak berhasil. Aku
berlari menjauh dari mobil sambil menangis histeris. Tanpa kusadari, justru aku
berlari ke arah mobil lain yang bertabrakan dengan kami. Kondisinya jauh lebih
ringsek.
Subhanallah,
keadaan di sana membuatku takjub. Kaset murattal masih terdengar dari tape
mobil yang menyala. Dua laki-laki penumpangnya aku yakin dalam keadaan pingsan.
Sebab saat ku panggil tak ada sahutan.
Yang
luar biasa sesekali kudengar rintihan menyebut asma Allah dan bacaan surat
Al-Quran. Lain dengan Bay… Aku menangis sesenggukan sambil memberi pertolongan
sebisaku. Alhamdulillah, akhirnya pertolongan datang dari mobil-mobil yang
kebetulan lewat.
Sebulan
sejak peristiwa itu, aku tak bisa tidur. Terbayang dua peristiwa yang kontras,
juga aku yang terlempar ke luar mobil. Allah sengaja menyelamatkanku untuk
menyaksikan dua kejadian di saat bersama-sama.
Dan
hal itu mengguncang jiwa dan batinku. Bisa saja akhir hidupku seperti Bay atau
seperti dua lelaki itu. Kejadian itu membuatku terbalik 180 derajat. Aku
tinggalkan band-ku dan semua kegiatan burukku. Aku menjelma menjadi manusia
baru sejak lima tahun lalu. Dan itu bermula dari kejadian di tepi jalan kota
dan atas hidayah Allah semata. (Ummu Faruq)
0 komentar:
Posting Komentar