Turki
kini menjelma menjadi kekuatan baru yang diperhitungkan di dunia internasional.
Situasi ini tak lepas dari sosok kepemimpinan Recep Tayyip Erdogan, sang
Perdana Menteri. Lewat Adalet ve Kalkinma Partisi (AKP) atau Partai Keadilan
dan Pembangunan, Erdogan berupaya merealisasikan nilai-nilai Islam dalam
kehidupan masyarakat Turki. Tentu saja upaya ini tidak mudah. Sejak berdekade
silam, berbagai upaya memunculkan Islam di panggung politik Turki selalu
dipatahkan oleh kalangan sekularis dengan dukungan militer Turki.
Kini
situasi berubah. Erdogan berhasil memberi pelajaran mahal kepada militer agar
dapat menghormati supremasi sipil. Larangan jilbab dicabut. Perbuatan zina juga
diusulkan menjadi pelanggaran pidana. Ekonomi Turki yang sebelumnya terpuruk, melesat
pesat. Mata uang Lira yang dulu terkapar, kini bertaji. Posisi Turki di kawasan
maupun di dunia Islam, makin diperhitungkan. Turki bahkan menjelma menjadi
momok menakutkan bagi arogansi Israel di Timur Tengah.
Erdogan
bersama koleganya di AKP adalah pejuang dengan setumpuk cita-cita yang belum
selesai: mengembalikan umat Islam sebagai pemimpin peradaban. Dan, cerita itu
sudah dimulai sekarang. Hidayatullah.com, menuliskan perubahan ini secara
berseri pada pembaca
Turki
seperti terlahir kembali di tangan Erdogan. Ia menaklukkan kepongahan
sekularisme Turki yang dibidani oleh Kemal Ataturk.
Ada
yang tak biasa pada Perdana Menteri Turki sekarang. Di mana pun berada, ia
kerap didampingi wanita cantik yang senantiasa berjilbab. Wanita itu tetap
kukuh dengan jilbabnya, sekalipun kecaman datang bertubi-tubi. Dialah Emine
Erdogan, istri Perdana Menteri Recep Tayyip Erdogan.
Bagi
Turki pemandangan seperti itu aneh. Karena, jilbab adalah simbol keagamaan.
Sedangkan
Turki sudah membuang simbol-simbol keagamaan sejak 88 tahun lalu, yakni sejak
Turki menerapkan sekularisme dalam kehidupan bernegara dan berbangsa. Sejak
itu, jilbab dilarang keras.
Namun
kini, kondisinya berbalik. Semarak jilbab telah mewarnai kembali kehidupan
masyarakat Turki. Jilbab tampak dimana-mana. Sebagian kalangan menilai,
semaraknya jilbab itu pertanda kebangkitan Islam di Turki. Di sisi lain,
sekularisme yang ditancapkan Mustafa Kemal Ataturk mulai pudar.
Membaca
fenomena kebangkitan Islam di Turki tak lepas dari sosok-sosok seperti
Necmettin Erbakan, Recep Tayyip Erdogan, Abdullah Gul dan Ali Babacan dan juga
Adalet ve Kalkinma Partisi (AKP) atau Partai Keadilan dan Pembangunan.
AKP
lahir dalam kebuntuan politik, ketika partai Islam dipecundangi oleh kaum
sekular yang dibekingi oleh rezim militer. Berbagai alasan dibuat untuk
menggembosi setiap upaya membangunkan bangsa Turki agar kembali kepada Islam.
Dimulai dari saat Partai Keselamatan Nasional (Milli Selâmet Partisi) pimpinan
Necmettin Erbakan dibubarkan pada dekade 1990-an. Kemunculan Partai Refah
sebagai penggantinya, yang juga digagas oleh Erbakan, juga tak berlangsung
lama. Partai Refah dibubarkan oleh rezim militer pada tahun 1997.
Menang
Telak
Erdogan
adalah murid sekaligus pengagum Erbakan. Pengalaman pahit dibubarkannya partai
Islam sebanyak dua kali, ditambah makar kaum sekular yang membuatnya
dijebloskan ke dalam penjara, memaksanya untuk berpikir lebih cerdas dan
strategis. Akhirnya, bersama Abdullah Gul dan Ali Babacan, Erdogan membentuk
partai AKP pada 14 Agustus 2001.
Erdogan
dan AKP mampu mempertahankan diri di atas panggung politik Turki selama lebih
dari satu dekade. AKP mulai membangun kekuasaan politiknya sejak 2002, ketika
AKP memenangkan pemilu parlemen (34 persen). Disusul pemilu 2007, AKP kembali
memenangkan pemilu dengan suara mayoritas di parlemen (47 persen). Lalu pada
pemilu 2011, AKP kembali memenangkan suara mayoritas, hampir 50 persen (326
kursi) parlemen. Ini merupakan prestasi politik luar biasa yang belum pernah
terjadi dalam sejarah Turki modern.
Banyak
faktor di balik kesuksesan AKP di panggung politik Turki. Pertama, kepemimpinan
dalam Partai AKP dibangun atas dasar visi, integritas, kredibilitas, dan
komitmen yang tinggi. Para pemimpin AKP bukanlah orang-orang yang haus
kekuasaan. Tiga tokoh puncaknya, Erdogan, yang menjadi Perdana Menteri,
Abdullah Gul, yang menjadi Presiden Turki, dan Ali Babacan, yang menjadi Deputi
Perdana Menteri, bukanlah orang-orang yang mencari peluang untuk hidup mewah
sehingga terjun ke dalam politik.
Mereka
adalah cendekiawan yang berlatar belakang ekonom dan pernah bekerja di lembaga
dunia. Gul, misalnya, pernah bekerja di IDB (Islamic Development Bank), dan
Bank Dunia.
Erdogan
juga pernah bekerja di IDB dan bekas Walikota Istanbul yang sukses. Sementara
itu, Ali Babacan adalah ekonom jenius yang kini menjadi deputi perdana menteri
sekaligus ketua tim negosiator Turki dengan negara Uni Eropa.
Faktor
kedua, AKP di bawah pimpinan Erdogan berhasil membangun stabilitas ekonomi dan
politik secara bersama-sama. Pendapatan per kapita rakyat Turki meningkat
pesat, inflasi diturunkan dan pertumbuhan ekonomi digenjot. Turki juga berhasil
menurunkan angka pengangguran hingga lebih dari 3 persen dalam setahun. Turki
menjelma menjadi salah satu kekuatan ekonomi besar di Eropa.
The
Economist, sebuah majalah terkemuka di Amerika, tak ketinggalan memuji
keberhasilan “kaum Islamis AKP” dalam memimpin Turki.
Erdogan
maupun AKP memang tidak mengusung jargon-jargon syariah di lapangan. Walau
begitu, faktanya, AKP berhasil membatalkan undang-undang yang melarang jilbab,
mengajukan RUU agar zina termasuk dalam tindakan pidana, menghapuskan
prostitusi, memerangi korupsi dan kemiskinan.
Erdogan
dikritik oleh sebagian kalangan karena menyebut Turki bukanlah negara agama. Ia
juga dikecam oleh sebagian kalangan karena berkata, “Demokrasi, sekularisme,
dan kekuasaan negara yang diatur oleh undang-undang adalah prinsip utama dalam
sebuah negara republik. Jika ada salah satunya yang hilang, maka pilar bangunan
negara akan runtuh. Tidak ada kelompok manapun yang meresahkan pilar-pilar itu.
Dengan keinginan masyarakat, maka pilar-pilar itu akan hidup seterusnya.” Ia
mengungkapkan hal itu di hadapan para aktivis AKP, April 2007 silam.
Adakah
yang keliru dari pernyataan di atas? Jika kita menyimak ungkapan pertama
tentang negara republik, bukankah itu merupakan deskripsi terhadap fakta yang
saat ini tengah terjadi di Turki dan di berbagai belahan dunia lainnya.
Bukankah memang fakta yang belum bisa diubah hingga kini ---dan bukan berarti
tidak akan berubah--- bahwa Turki bukanlah negara agama? Bukankah pernyataan
itu tidak menafikan kemungkinan nyata bahwa partainya tengah memperjuangkan
nilai-nilai Islam?
Sebagai
bukti terhadap analisis ini, survei yang dilakukan sebuah lembaga penelitian
sosial dan ekonomi bernama TESEV beberapa waktu lalu, menunjukkan bahwa jumlah
orang yang menyatakan diri mereka sebagai Muslim meningkat 10 persen antara
tahun 2002 dan 2007, dan hampir setengah dari mereka yang disurvei menyebut
diri mereka islamis.
Ringkasnya,
apa yang dinyatakan dan dilakukan Erdogan itu cuma sekadar strategi AKP untuk
mempecundangi rezim sekular Turki yang begitu berurat-berakar dalam ruang
politik Turki.
Yang
dilakukan oleh AKP juga adalah “strategi potong generasi”. Sulit mengubah
paradigma sekularisme yang dibangun sejak Kemal Ataturk memproklamasikan
Republik Turki. Karena itu, AKP berkonsentrasi merekrut kader-kader dari
kalangan muda. Terutama, mereka yang berusia 25-35 tahun. AKP juga gigih
memperkuat jaringannya dengan mendirikan kantor-kantor perwakilan hingga ke
pelosok desa.
Perjalanan
Erdogan bersama AKP dan para aktivis Islam di Turki masih panjang. Terlepas
dari berbagai kritik yang ditujukan terhadap berbagai langkah politiknya
bersama para koleganya di AKP, Erdogan sukses meruntuhkan dominasi kaum sekular
di Turki, bahkan tampil sebagai pembela terdepan bagi dunia Islam. Erdogan
berhasil menghancurkan warisan Ataturk tanpa mengeluarkan sebutir peluru pun.
0 komentar:
Posting Komentar