“Demokrasi,
baik di Amerika maupun di Inggris, tengah menjadi obyek telaah pada hari-hari
ini. Terlepas dari berbagai kelakar tentang perdana menteri dan para anggota
Kongres demokrasi acapkali dikatakan sedang meluncur menuju sistem oligarki.
Bahkan, ada yang mengatakan bahwa demokrasi sedang bermetamorfosis menjadi
otokrasi. Uang dan kekuatannya atas teknologi sering menjadikan proses
pemilihan umum menjadi tidak fair. Afiliasi kekuatan militer dan industri
menjadi sangat digdaya, terlebih setelah mengadopsi semboyan “perang melawan
terorisme”. Lobi dan korupsi mencemari berbagai proses pemerintahan. Singkat
kata, demokrasi tengah berada dalam kondisi yang tidak baik (sakit). (Simon
Jenkins, mantan editor The Times, Guardian, 8 April 2010)
Democracy
is not in good shape (demokrasi dalam keadaan tidak baik/sakit)! Penggalan
artikel Simon Jenkins di atas, mencerminkan kegelisahannya tentang kondisi
demokrasi sekarang. Memang, apa yang dikatakan Simon Jenkins benar adanya.
Indonesia yang mengadopsi demokasi juga mengalami hal yang sama. Lihatlah,
ternyata klaim Abraham Lincoln: demokrasi dari rakyat, oleh rakyat, untuk
rakyat, tidak terbukti sepenuhnya.
Demokrasi
telah membajak suara mayoritas rakyat untuk kepentingan segelintir elite yang
haus kekuasaan dan rakus kekayaan. Permainan ini dimainkan oleh segelintir
orang yang mengklaim dirinya wakil rakyat atau pemerintah yang dipilih oleh
mayoritas rakyat. Mereka membuat kebijakan yang justru jauh dari kepentingan
rakyat. Usulan dana aspirasi Rp 15 milyar, dana akal-akalan dengan alasan
pembinaan daerah pemilihan yang berarti akan menjebol Rp 8,4 trilyun APBN,
pembangunan gedung ‘miring’ DPR yang menelan Rp 1,8 trilyun, mencerminkan hal
itu.
Di
sisi lain, rakyat terus diancam teror kenaikan listrik, BBM, air, mahalnya
biaya kesehatan, pendidikan dan kebutuhan pokok lainnya. Tindakan anti rakyat
ini meneruskan kebijakan elite sebelumnya yang menaikkan BBM, mengeluarkan UU
pro pasar yang menyengsarakan rakyat (UU Migas, UU Penanaman Modal, UU
Kelistrikan, UU BHP dll).
Seperti
yang dikatakan oleh Simon Jenkins, lobi dan korupsi telah mencemari proses
pemerintahan. Memang, demokrasi yang mahal dan elitis telah melahirkan
simbiosis mutualisme antara kelompok pemilik modal (kapital) dan politisi yang
ujung-ujungnya merugikan rakyat. Sri Mulyani menyebut dengan istilah perkawinan
untuk menggantikan istilah kartel politik.
Menurutnya,
dengan semua episode yang terjadi di ruang publik, rakyat sebagai pemegang
saham utama berhak memilih chief executive officer republik ini dan juga
memilih orang-orang yang menjadi pengawas CEO. Proses ini, lanjut Sri, tak
murah dan mudah. Untuk mendapatkan dana luar biasa itu, mau tidak mau, kandidat
harus “berkolaborasi” dengan sumber finansial. Kandidat di tingkat daerah, tak
mungkin kolaborasi pendanaan dibayar dari penghasilan. Satu-satunya cara yang
memungkinkan yakni melalui jual beli kebijakan.
Politik
transaksional ini kemudian didominasi oleh tawar menawar kekuasaan dan saling
mengancam yang berujung pada saling damai untuk kepentingan segelintir elite.
Kasus Century yang tadinya demikian panas dan menelan dana rakyat Rp 2,5 milyar
ini melempem, tidak jelas nasibnya. KPK yang tadinya sangat diharapkan malah
mengatakan belum ada indikasi korupsi, padahal keputusan DPR jelas-jelas
menyatakan ada penyimpangan. Yang jelas ‘solusi’ Century ini menyelamatkan
elite politik yang berkuasa. Presiden SBY tidak tersentuh, Boediono aman, Sri
Mulyani selamat, Ical senang. Sementara rakyat gigit jari.
Lobi
dan korupsi ini pula yang membuat tatanan hukum negeri ini amburadul dan
hancur-hancuran. Dalam kasus penyuapan BI, yang disuap dihukum, sementara yang
menyuap masih aman. Susno yang mengangkat kasus korupsi di kepolisian malah
dijadikan terdakwa. Sebaliknya yang dituduh korupsi belum tersentuh. Sistem
demokrasi ini kemudian melahirkan sistem yang korup di semua lembaga (eksekutif,
legislatif, dan yudikatif).
Sakitnya
demokrasi ini, jelas bukan sekadar kasuistis atau penyimpangan dari demokrasi,
tapi cacat bawaan demokrasi. Yang paling mendasar adalah ketika demokrasi
menyerahkan kedaulatan di tangan rakyat, dengan asumsi suara mayoritas rakyat
adalah kebenaran, suara rakyat sama dengan suara Tuhan. Padahal bagaimana bisa
dikatakan benar ketika mayoritas suara rakyat di Amerika bagian selatan pada
abad ke 19 mendukung perbudakan, sebagian besar rakyat Jerman memilih Hitler
dan mendukung undang-undang Nuremburg pada tahun 1930-an? Atas nama suara
rakyat pula jilbab dilarang di Perancis. Pengiriman pasukan Perang ke Irak,
Afghanistan, dukungan terhadap Israel juga lewat proses demokrasi AS.
Ketika
kebenaran diserahkan pada manusia, di situlah hawa nafsu dan kepentingan
manusia lebih dominan. Ketika elite pemilik modal dan politisi mendominasi
demokrasi, lahirlah kebijakan untuk kepentingan mereka sendiri, bukan rakyat.
Bukti lain cacat bawaan demokrasi, klaim demokrasi terbukti hanya ilusi. Janji
kesejahteraan, stabilitas dunia, menjunjung HAM hanyalah omong kosong. Kampiun
demokrasi seperti AS saja gagal. Walhasil, tidak ada jalan lain, bagi kita
untuk kembali kepada syariah Islam yang berasal dari Allah SWT yang Maha
Sempurna. Menggantikan sistem yang cacat ini.
0 komentar:
Posting Komentar