FULL VERSION GAMES

Jumat, 14 September 2012

Cacat Bawaan Demokrasi


“Demokrasi, baik di Amerika maupun di Inggris, tengah menjadi obyek telaah pada hari-hari ini. Terlepas dari berbagai kelakar tentang perdana menteri dan para anggota Kongres demokrasi acapkali dikatakan sedang meluncur menuju sistem oligarki. Bahkan, ada yang mengatakan bahwa demokrasi sedang bermetamorfosis menjadi otokrasi. Uang dan kekuatannya atas teknologi sering menjadikan proses pemilihan umum menjadi tidak fair. Afiliasi kekuatan militer dan industri menjadi sangat digdaya, terlebih setelah mengadopsi semboyan “perang melawan terorisme”. Lobi dan korupsi mencemari berbagai proses pemerintahan. Singkat kata, demokrasi tengah berada dalam kondisi yang tidak baik (sakit). (Simon Jenkins, mantan editor The Times, Guardian, 8 April 2010)

Democracy is not in good shape (demokrasi dalam keadaan tidak baik/sakit)! Penggalan artikel Simon Jenkins di atas, mencerminkan kegelisahannya tentang kondisi demokrasi sekarang. Memang, apa yang dikatakan Simon Jenkins benar adanya. Indonesia yang mengadopsi demokasi juga mengalami hal yang sama. Lihatlah, ternyata klaim Abraham Lincoln: demokrasi dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat, tidak terbukti sepenuhnya.

Demokrasi telah membajak suara mayoritas rakyat untuk kepentingan segelintir elite yang haus kekuasaan dan rakus kekayaan. Permainan ini dimainkan oleh segelintir orang yang mengklaim dirinya wakil rakyat atau pemerintah yang dipilih oleh mayoritas rakyat. Mereka membuat kebijakan yang justru jauh dari kepentingan rakyat. Usulan dana aspirasi Rp 15 milyar, dana akal-akalan dengan alasan pembinaan daerah pemilihan yang berarti akan menjebol Rp 8,4 trilyun APBN, pembangunan gedung ‘miring’ DPR yang menelan Rp 1,8 trilyun, mencerminkan hal itu.

Di sisi lain, rakyat terus diancam teror kenaikan listrik, BBM, air, mahalnya biaya kesehatan, pendidikan dan kebutuhan pokok lainnya. Tindakan anti rakyat ini meneruskan kebijakan elite sebelumnya yang menaikkan BBM, mengeluarkan UU pro pasar yang menyengsarakan rakyat (UU Migas, UU Penanaman Modal, UU Kelistrikan, UU BHP dll).

Seperti yang dikatakan oleh Simon Jenkins, lobi dan korupsi telah mencemari proses pemerintahan. Memang, demokrasi yang mahal dan elitis telah melahirkan simbiosis mutualisme antara kelompok pemilik modal (kapital) dan politisi yang ujung-ujungnya merugikan rakyat. Sri Mulyani menyebut dengan istilah perkawinan untuk menggantikan istilah kartel politik.

Menurutnya, dengan semua episode yang terjadi di ruang publik, rakyat sebagai pemegang saham utama berhak memilih chief executive officer republik ini dan juga memilih orang-orang yang menjadi pengawas CEO. Proses ini, lanjut Sri, tak murah dan mudah. Untuk mendapatkan dana luar biasa itu, mau tidak mau, kandidat harus “berkolaborasi” dengan sumber finansial. Kandidat di tingkat daerah, tak mungkin kolaborasi pendanaan dibayar dari penghasilan. Satu-satunya cara yang memungkinkan yakni melalui jual beli kebijakan.

Politik transaksional ini kemudian didominasi oleh tawar menawar kekuasaan dan saling mengancam yang berujung pada saling damai untuk kepentingan segelintir elite. Kasus Century yang tadinya demikian panas dan menelan dana rakyat Rp 2,5 milyar ini melempem, tidak jelas nasibnya. KPK yang tadinya sangat diharapkan malah mengatakan belum ada indikasi korupsi, padahal keputusan DPR jelas-jelas menyatakan ada penyimpangan. Yang jelas ‘solusi’ Century ini menyelamatkan elite politik yang berkuasa. Presiden SBY tidak tersentuh, Boediono aman, Sri Mulyani selamat, Ical senang. Sementara rakyat gigit jari.

Lobi dan korupsi ini pula yang membuat tatanan hukum negeri ini amburadul dan hancur-hancuran. Dalam kasus penyuapan BI, yang disuap dihukum, sementara yang menyuap masih aman. Susno yang mengangkat kasus korupsi di kepolisian malah dijadikan terdakwa. Sebaliknya yang dituduh korupsi belum tersentuh. Sistem demokrasi ini kemudian melahirkan sistem yang korup di semua lembaga (eksekutif, legislatif, dan yudikatif).

Sakitnya demokrasi ini, jelas bukan sekadar kasuistis atau penyimpangan dari demokrasi, tapi cacat bawaan demokrasi. Yang paling mendasar adalah ketika demokrasi menyerahkan kedaulatan di tangan rakyat, dengan asumsi suara mayoritas rakyat adalah kebenaran, suara rakyat sama dengan suara Tuhan. Padahal bagaimana bisa dikatakan benar ketika mayoritas suara rakyat di Amerika bagian selatan pada abad ke 19 mendukung perbudakan, sebagian besar rakyat Jerman memilih Hitler dan mendukung undang-undang Nuremburg pada tahun 1930-an? Atas nama suara rakyat pula jilbab dilarang di Perancis. Pengiriman pasukan Perang ke Irak, Afghanistan, dukungan terhadap Israel juga lewat proses demokrasi AS.

Ketika kebenaran diserahkan pada manusia, di situlah hawa nafsu dan kepentingan manusia lebih dominan. Ketika elite pemilik modal dan politisi mendominasi demokrasi, lahirlah kebijakan untuk kepentingan mereka sendiri, bukan rakyat. Bukti lain cacat bawaan demokrasi, klaim demokrasi terbukti hanya ilusi. Janji kesejahteraan, stabilitas dunia, menjunjung HAM hanyalah omong kosong. Kampiun demokrasi seperti AS saja gagal. Walhasil, tidak ada jalan lain, bagi kita untuk kembali kepada syariah Islam yang berasal dari Allah SWT yang Maha Sempurna. Menggantikan sistem yang cacat ini.


0 komentar:

Posting Komentar